Perang Badar

Written By Admin on Kamis, 02 Oktober 2014 | 22.41

Perang Badar –Kehidupan di Madinah semakin stabil. Perekonomian berjalan lancar. Rasulullah saw. perlu menjaga ketenangan tersebut. Maka ia pun membangun kekuatan tempur. Beberapa ekspedisi militer dilakukan. Di antaranya dengan mengirim ekspedisi ke wilayah Ish, tepi Laut Merah yang dikomandani Hamzah. Pasukan ini nyaris bentrok dengan pasukan Abu Jahal. Pasukan Ubaidah bin Harith yang dikirim ke Wadi Rabigh - Hijaz-berpapasan dengan tentara Abu Sofyan. Pasukan Saad bin Abi Waqash pun berpatroli ke Hijaz.

Rasulullah saw.  bahkan memimpin sendiri milisi Muslim. Itu dilakukannya setelah setahun di Madinah. Mula-mula ia pergi ke Abwa dan Wadan. Kedua, ia memimpin 200 pasukan ke Buwat. Ketiga, Rasulullah saw. pergi ke 'Usyaira di mana ia tinggal selama bulan Jumadil Awal hingga awal Jumadil Akhir. Saat Rasulullah saw. pergi, kepemimpinan di Madinah diserahkan pada Saad bin Ubadah, dan kemudian Abu Salama bin Abdul As'ad. Hasil misi tersebut adalah kesepakatan persekutuan dengan Bani Dzamra dan Bani Mudlij. Hal ini memperkuat posisi Madinah dalam berperang dengan Mekah.

Namun bentrok tak terhidarkan. Pasukan Kurz bin Jabir dari Mekah menyerang pinggiran Madinah, merampas kambing dan unta. Rasulullah saw. —setelah menyerahkan kepemimpinan di Madinah—memimpin sendiri pasukan mengejar Kurz. Banyak yang menyebut peristiwa ini sebagai Perang Badar pertama. Kemudian pasukan Muslim pimpinan Abdullah bin Jahsy bentrok dengan rombongan Qurais pimpinan Amr bin Hadzrami. Amr tewas terpanah oleh Waqid bin Abdullah Attamimi. Dua orang Quraisy tertawan.

Setelah itu, Rasulullah saw. dan pasukan pergi ke Badar untuk memotong jalur perdagangan Mekah dan Syam. Abu Sofyan, pemimpin kafilah yang hendak pulang dari Syam, mengirim kurir minta bantuan penduduk Mekah. Abu Jahal segera memobilisasi bantuan itu.

Pada hari kedelapan bulan Ramadhan, tahun kedua hijriah, pasukan Muslim bergerak. Setiap tiga atau empat orang menggunakan satu unta, naik bergantian. Tanpa kecuali Rasulullah saw. yang bergantian dengan Ali serta Marthad bin Marthad. Rombongan berjumlah 305 orang. Mereka terdiri dari 83 muhajirin, 61 orang Aus, yang lain orang Khazraj. Pimpinan kota Madinah diserahkan pada Abu Lubaba, sedang imam masjid pada Ibnu Ummi Maktum.

Siasat segera dibangun. Mulai dari posisi pasukan hingga mengukur kekuatan lawan. Rasulullah saw. semula menetapkan posisi di suatu tempat. Sahabatnya, Hubab, bertanya apakah posisi itu merupakan petunjuk dari Allah? Setelah dijawab "bukan", Hubab menyarankan suatu strategi. Yakni memilih posisi di ujung depan, sehingga sumur-sumur berada di belakangnya. Dengan demikian, kaum Qurais berperang tanpa akses air. Sedangkan muslim punya banyak cadangan air.

Selain itu, Saad bin Mudhab juga membangun gubuk sebagai pos bagi Rasulullah saw. untuk memberikan komando. Ia keberatan bila Rasulullah saw. berada di garis depan. Dengan demikian, jika pasukan Muslim kalah, Rasulullah saw. tak dapat ditawan lawan, melainkan dapat segera mengorganisasikan pasukan baru yang tinggal di Madinah. Rasulullah saw. saw. juga menaksir jumlah kekuatan lawan dari banyaknya unta yang dipotong. Dengan 9-10 unta dipotong setiap hari, berarti kekuatan lawan sekitar 1000 orang.

Beberapa kaum Qurais sempat berpikir untuk menghindari perang. Bagaimanapun antara mereka mempunyai hubungan kekerabatan. Namun Abu Jahal berkeras. Aswad bin Abdul Asad lalu menerjang maju, dan langsung tersungkur oleh pedang Hamzah. Kemudian dua bersaudara Uthba' dan Syaiba bin Rabia, serta Walid anak Uthba maju bersama yang segera disongsong Hamzah, Ali dan Ubaida bin Harits. Ketiga penyerang itu tewas.

Serentak pertempuran berlangsung di semua lini. Bilal bin Rabah menewaskan bekas tuannya, Umayyah. Abu Jahal tewas di tangan Mu'azh. Perang berkecamuk persis pada tanggal 17 di tengah terik bulan Ramadhan. Qurais kalah telak. Beberapa orang ditawan. Rasulullah saw. memerintahkan eksekusi langsung pada dua orang yang dikenal sangat sering menjelek-jelekkan Islam, Nadzr bin Harith dan Uqba anak Abi Muait.

Sempat terjadi perdebatan di kalangan muslim. Abu Bakar yang dikenal lemah lembut, meminta agar tawanan ditahan secara wajar sampai kaum Qurais -sesuai tradisi masa itu-menebusnya. Umar yang tegas minta agar semua tawanan dibunuh. Rasulullah saw. memutuskan yang pertama.
Mereka yang berasal dari keluarga kaya, harus membayar mahal tebusan. Sedangkan yang miskin dapat dibebaskan tanpa membayar apapun. Zainab -putri Rasulullah saw. yang tinggal di Mekah-membebaskan suaminya, Zaid bin Haritsa dengan cincin peninggalan Khadijah. Zaid dibebaskan namun diminta menceraikan Zainab. Suatu saat Zaid kembali ditawan muslim di Madinah, ia lalu masuk Islam dan kembali menikah dengan Zainab.

Suasana di Mekah sangat muram. Abu Lahab, sepulang perang, kemudiam demam sampai ia meninggal. Namun Hindun bin Uthba -istri Abu Sufyan-justru menggalang kembali kekuatan. Ia bersumpah akan membalas dendam kematian ayah, paman serta saudara di perang itu. Ia buktikan sumpahnya dalam Perang Uhud.

Adapun di Madinah, di saat Rasulullah saw. dan pasukannya pergi ke Badar, ketegangan mencuat antara Muslim dengan Yahudi. Seorang Yahudi, Ka'ab diketahui memprovokasi kalangannya agar mengganggu para perempuan muslim. Puncaknya adalah ketika Yahudi mengait baju perempuan Muslim hingga kainnya tersingkap. Mereka ramai-ramai menertawakan perempuan itu.
Seorang muslim mencabut pedangnya dan membunuh laki-laki Yahudi itu. Ia kemudian juga dibunuh. Ka'ab kemudian dibunuh oleh orang-orang Islam. Demikian juga dua orang Yahudi yang selalu mengata-ngatai Islam, Abu Afak dan Ashma.

Setelah Rasulullah saw. kembali ke Madinah, Yahudi Bani Qainuqa pembuat onar dan melanggar kesepakatan damai itu mereka kucilkan. Kabilah tersebut kemudian pindah ke Adhriat -ke arah Yerusalem. Untuk sementara, kehidupan Madinah kembali tenang.

Bersambung…
22.41 | 0 komentar | Read More

KETIKA SEKARAT DAN MENDEKATI KEMATIAN

Written By Admin on Sabtu, 20 September 2014 | 00.37



Apabila  keadaan  si  sakit  sudah berakhir dan memasuki pintu maut  --yakni  saat-saat  meninggalkan  dunia  dan  menghadapi akhirat,   yang   diistilahkan  dengan  ihtidhar  (detik-detik kematian/kedatangan tanda-tanda  kematian)--  maka  seyogianya keluarganya   yang   tercinta  mengajarinya  atau  menuntunnya mengucapkan kalimat  laa  ilaaha  illallah  (Tidak  ada  tuhan selain  Allah)  yang merupakan kalimat tauhid, kalimat ikhlas, dan kalimat takwa, juga merupakan perkataan paling utama  yang diucapkan Nabi Muhammad saw. dan nabi-nabi sebelumnya.

Kalimat  inilah  yang  digunakan seorang muslim untuk memasuki kehidupan  dunia  ketika  ia  dilahirkan  dan   diazankan   di telinganya   (bagi  yang  berpendapat  demikian;  Penj.),  dan kalimat ini pula yang ia pergunakan untuk mengakhiri kehidupan dunia.  Jadi,  dia  menghadapi  atau memasuki kehidupan dengan kalimat tauhid dan meninggalkan kehidupan pun  dengan  kalimat tauhid.

Ulama-ulama   kita   mengatakan,  "Yang  lebih  disukai  untuk mendekati si sakit ialah famili yang paling sayang  kepadanya, paling  pandai  mengatur,  dan  paling  takwa kepada Tuhannya. Karena tujuannya adalah mengingatkan  si  sakit  kepada  Allah Ta'ala, bertobat dari maksiat, keluar dari kezaliman, dan agar berwasiat.  Apabila  ia  melihat  si  sakit  sudah   mendekati ajalnya,   hendaklah   ia   membasahi   tenggorokannya  dengan meneteskan air atau meminuminya dan membasahi  kedua  bibirnya dengan   kapas,   karena   yang   demikian   dapat  memadamkan kepedihannya    dan    memudahkannya    mengucapkan    kalimat syahadat."94

Kemudian  dituntunnya  mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah mengingat hadits  yang  diriwayatkan  Muslim  dari  Abi  Sa'id secara marfu':

"Ajarilah orang yang hampir mati diantara kalian dengan kalimat laa illaaha illallah."95

Orang yang hampir  mati  didalam  hadits  ini  disebut  dengan "mayit"  (orang mati) karena ia menghadapi kematian yang tidak dapat dihindari.

Jumhur  ulama  berpendapat  bahwa  menalkin  (mengajari   atau menuntun)  orang  yang  hampir  mati dengan kalimat laa ilaaha illallah ini hukumnya mandub (sunnah), tetapi  ada  pula  yang berpendapat wajib berdasarkan zhahir perintah. Bahkan sebagian pengikut mazhab Maliki mengatakan telah disepakati wajibnya.96

Hikmah menalkin  kalimat  syahadat  ialah  agar  akhir  ucapan ketika  seseorang  meninggal  dunia  adalah  kalimat tersebut, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad  dan  Hakim serta disahkan olehnya dari Mu'adz secara marfu':

"Barangsiapa yang akhir perkataannya kalimat laa ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga."97

Dicukupkannya  dengan  ucapan  laa  ilaaha   illallah   karena pengakuan akan isi kalimat ini berarti pengakuan terhadap yang lain, karena dia mati berdasarkan tauhid yang  diajarkan  Nabi Muhammad saw., disamping itu agar jangan terlalu banyak ucapan yang diajarkan kepadanya.

Sebagian  ulama  berpendapat  agar  menalkinkan  dua   kalimat syahadat, karena kalimat kedua (Muhammad Rasulullah) mengikuti kalimat pertama. Tetapi yang lebih utama ialah  mencukupkannya dengan syahadat tauhid, demi melaksanakan zhahir hadits.

Seyogyanya,   dalam   menalkinkan   kalimat   tersebut  jangan diperbanyak dan jangan diulang-ulang, juga  janganlah  berkata kepadanya:    "Ucapkanlah   laa   ilaaha   illallah,"   karena dikhawatirkan ia merasa dibentak sehingga merasa  jenuh,  lalu ia  mengatakan,  "Saya  tidak mau mengucapkannya," atau bahkan mengucapkan perkataan lain yang tidak layak. Hendaklah kalimat ini  diucapkan  kepadanya  sekiranya  ia  mau mendengarnya dan memperhatikannya, kemudian mau mengucapkannya .

Atau mengucapkan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu berdzikir   kepada  Allah  dengan  mengucapkan:  "Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah."

Apabila ia sudah mengucapkan kalimah syahadat satu kali,  maka hal  itu  sudah cukup dan tidak perlu diulang, kecuali jika ia mengucapkan perkataan lain sesudah  itu,  maka  perlu  diulang menalkinnya  dengan  lemah  lembut  dan  dengan cara persuasif (membujuknya agar mau mengucapkannya), karena  kelemahlembutan dituntut  dalam  segala  hal  terlebih  lagi  dalam kasus ini. Pengulangan  ini  bertujuan  agar  perkataan   terakhir   yang diucapkannya adalah kalimat laa ilaaha illallah.

Diriwayatkan  dari  Abdullah  bin  al-Mubarak  bahwa ketika ia kedatangan tanda-tanda kematian (yakni hampir meninggal dunia) ada    seorang    laki-laki    yang    menalkinkannya   secara berulang-ulang, lantas Abdullah  berkata,  "Seandainya  engkau ucapkan  satu  kali  saja,  maka  saya  tetap atas kalimat itu selama saya tidak berbicara lain."

Dalam hal ini, sebaiknya orang yang menalkinkannya ialah orang yang  dipercaya oleh si sakit, bukan orang yang diduga sebagai lawannya (ada rasa permusuhan dengannya) atau orang yang hasad kepadanya, atau ahli waris yang menunggu-nunggu kematiannya.98

Sementara  itu,  sebagian ulama menyukai dibacakan surat Yasin kepada orang yang hampir mati berdasarkan hadits:

"Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang hampir mati diantara kamu."99

Namun demikian, derajat hadits ini tidak sahih,  bahkan  tidak mencapai derajat hasan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.

Disamping  itu, disukai menghadapkan orang yang hampir mati ke arah kiblat jika memungkinkan --karena kadang-kadang si  sakit tengah  menjalani perawatan di rumah sakit hingga ia menghadap ke arah yang sesuai dengan posisi ranjang tempat ia tidur.

Yang menjadi dalil bagi hal ini adalah hadits Abu Qatadah yang diriwayatkan  oleh  Hakim,  bahwa  ketika  Nabi saw. datang di Madinah, beliau bertanya tentang al-Barra'  bin  Ma'rur,  lalu para  sahabat menjawab bahwa dia telah wafat, dan dia berpesan agar dihadapkan ke kiblat ketika hampir wafat, lalu Rasulullah saw. bersabda:

"Sesuai dengan fitrah."100

Imam Hakim berkata, "Ini adalah hadits sahih, dan  saya  tidak mengetahui  dalil  tentang menghadapkan orang yang hampir mati ke arah kiblat melainkan hadits ini."101

Ada  dua  macam  pendapat  dari  para  ulama   mengenai   cara menghadapkan orang sakit ke arah kiblat ini:

Pertama,  ditelentangkan  di  atas  punggungnya, kedua telapakkakinya ke arah kiblat, dan kepalanya  diangkat  sedikit  agar wajahnya  menghadap  ke arah kiblat, seperti posisi orang yang dimandikan. Pendapat  ini  dipilih  oleh  beberapa  imam  dari mazhab Syafi'i, dan ini merupakan pendapat dalam mazhab Ahmad.

Kedua, miring ke kanan dengan menghadap kiblat, seperti posisi dalam liang lahad. Ini merupakan pendapat mazhab  Abu  Hanifah dan  Imam  Malik, dan nash Imam Syafi'i dalam al-Buwaithi, dan pendapat yang mu'tamad (valid) dalam mazhab Imam Ahmad.

Sebagian ulama memperbolehkan kedua cara tersebut,  mana  yang lebih  mudah.  Sedangkan Imam Nawawi membenarkan pendapat yang kedua,  kecuali  jika  tidak  memungkinkan  cara  itu   karena tempatnya  yang sempit atau lainnya, maka pada waktu itu boleh dimiringkan  ke  kiri  dengan  menghadap  kiblat.  Jika  tidak memungkinkan, maka di atas tengkuknya atau punggungnya.102

Imam  Syaukani  berkata,  "Yang  lebih  cocok  ialah menghadap kiblat dengan miring ke kanan,  berdasarkan  hadits  al-Barra' bin Azib dalam Shahihain:

"Apabila engkau hendak naik ke tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhumu ketika hendak shalat, kemudian berbaringlah di atas lambungmu sebelah kanan."

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Jika engkau meninggal dunia pada malam harimu itu, maka engkau berada pada fitrah (kesucian)."103

Dari riwayat ini tampak bahwa  seyogyanya  orang  yang  hampir meninggal dunia hendaklah dalam posisi seperti itu.

Diriwayatkan  juga  dalam  al-Musnad dari Salma Ummu Walad Abu Rafi' bahwa Fatimah binti Rasulullah saw. radhiyallahu  'anha, ketika  akan meninggal dunia beliau menghadap kiblat, kemudian berbantal dengan miring ke kanan.



Fatawa al-Mu'ashirah: DR. Yusuf al-Qaradhawi
00.37 | 0 komentar | Read More

Berbaik Sangka kepada Allah Ta'ala



Disukai  bagi  si sakit --khususnya bagi yang telah kedatangan tanda-tanda  mendekati  kematian--  untuk  berprasangka   baik kepada  Allah Ta'ala. Dalam arti, pengharapannya kepada rahmat Allah  melebihi  perasaan  takutnya  kepada  azab-Nya,  selalu mengingat    betapa    besar   kemurahan-Nya,   betapa   indah pengampunan-Nya,  betapa  luas  rahmat-Nya,  betapa   sempurna karunia-Nya,   dikedepankan-Nya  kebaikan  dan  kebajikan-Nya, membayangkan apa yang dijanjikan-Nya kepada  ahli  tauhid  dan rahmat  yang  disediakan-Nya  untuk  mereka  pada hari kiamat. Jabir meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:

"Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu meninggal dunia melainkan dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Ta'ala."90

Hal ini diperkuat oleh  hadits  qudsi  yang  telah  disepakati kesahihannya, bahwa Allah berfirman:

"Aku menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku."91

Ibnu Abbas berkata, "Apabila Anda melihat seseorang kedatangan tanda-tanda kematian maka gembirakanlah dia agar dia menghadap kepada Allah dengan berbaik  sangka  kepada-Nya;  dan  apabila Anda   lihat   orang   yang   hidup   --yakni   sehat--   maka takut-takutilah dia akan Tuhannya Azza wa Jalla."

Mu'tamir bin Sulaiman berkata, "Ketika akan  meninggal  dunia, ayah  berkata  kepadaku,  'Wahai  Mu'tamir, bicaralah kepadaku tentang rukhshah-rukhshah  (kemurahan-kemurahan),  supaya  aku menghadap Allah Ta'ala dengan berbaik sangka kepada-Nya."92

Imam  Nawawi  berkata,  "Orang yang sedang menunggu orang yang akan meninggal dunia disukai membangkitkan  harapannya  kepada rahmat  Allah,  menganjurkannya  untuk  berbaik  sangka kepada Allah,  mengingatkannya  dengan  ayat-ayat  dan  hadits-hadits mengenai  pengharapan  dan  ditimbulkan  semangatnya. Petunjuk mengenai apa yang saya  sebutkan  ini  banyak  terdapat  dalam hadits-hadits  sahih,  diantaranya  sejumlah  hadits yang saya sebutkan dalam "Kitab al-Jana'iz" dari  kitab  al-Adzkar.  Hal ini  juga  dilakukan oleh Ibnu Abbas terhadap Umar bin Khattab r.a.  ketika  menghadapi  maut,  juga  dilakukan  Ibnu   Abbas terhadap  Aisyah,  dan  dilakukan  pula  oleh Ibnu Amr bin Ash terhadap ayahnya. Semua ini tersebut dalam hadits dan  riwayat yang sahih."



Fatawa al-Mu'ashirah: DR. Yusuf al-Qaradhawi
00.35 | 0 komentar | Read More

MENJENGUK ORANG SAKIT DAN HUKUMNYA

Orang  sakit  adalah  orang  yang   lemah,   yang   memerlukan perlindungan   dan   sandaran.   Perlindungan   (pemeliharaan, penjagaan) atau  sandaran  itu  tidak  hanya  berupa  materiil sebagaimana  anggapan  banyak  orang,  melainkan  dalam bentuk materiil dan spiritual sekaligus.

Karena  itulah  menjenguk  orang  sakit  termasuk  dalam   bab tersebut.  Menjenguk  si  sakit ini memberi perasaan kepadanya bahwa  orang  di  sekitarnya   (yang   menjenguknya)   menaruh perhatian   kepadanya,   cinta  kepadanya,  menaruh  keinginan kepadanya,  dan   mengharapkan   agar   dia   segera   sembuh. Faktor-faktor  spiritual  ini  akan  memberikan kekuatan dalam jiwanya untuk melawan serangan penyakit lahiriah.  Oleh  sebab itu,   menjenguk   orang  sakit,  menanyakan  keadaannya,  dan mendoakannya  merupakan   bagian   dari   pengobatan   menurut orang-orang  yang  mengerti.  Maka pengobatan tidak seluruhnya bersifat materiil (kebendaan).

Karena itu, hadits-hadits Nabawi menganjurkan "menjenguk orang sakit"  dengan  bermacam-macam  metode  dan dengan menggunakan bentuk targhib  wat-tarhib  (menggemarkan  dan  menakut-nakuti yakni  menggemarkan  orang yang mematuhinya dan menakut-nakuti orang yang tidak melaksanakannya).

Diriwayatkan di dalam hadits sahih muttafaq  'alaih  dari  Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:

"Hak orang muslim atas orang muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantarkan jenazahnya, mendatangi undangannya, dan mendoakannya ketika bersin."2

Imam  Bukhari  meriwayatkan  dari  Abu  Musa  al-Asy'ari,   ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:

"Berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang yang sakit, dan tolonglah orang yang kesusahan."3

Imam Bukhari juga meriwayatkan dari  al-Barra'  bin  Azib,  ia berkata:

"Rasulullah saw. menyuruh kami melakukan tujuh perkara  ... Lalu ia menyebutkan salah satunya adalah menjenguk orang sakit."4

Apakah perintah dalam hadits di  atas  dan  hadits  sebelumnya menunjukkan  kepada  hukum  wajib ataukah mustahab? Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Imam Bukhari berpendapat  bahwa  perintah  disini  menunjukkan hukum  wajib,  dan beliau menerjemahkan hal itu di dalam kitab Shahih-nya dengan mengatakan:  "Bab  Wujubi  'Iyadatil-Maridh" (Bab Wajibnya Menjenguk Orang Sakit).

Ibnu  Baththal  berkata, "Kemungkinan perintah ini menunjukkan hukum wajib dalam arti wajib kifayah,  seperti  memberi  makan orang yang lapar dan melepaskan tawanan; dan boleh jadi mandub (sunnah),  untuk  menganjurkan  menyambung  kekeluargaan   dan berkasih sayang."

Ad-Dawudi memastikan hukum yang pertama (yakni fardhu kifayah; Penj.). Beliau berkata, "Hukumnya adalah fardhu, yang  dipikul oleh sebagian orang tanpa sebagian yang lain."

Jumhur  ulama berkata, "Pada asalnya hukumnya mandub (sunnah), tetapi kadang-kadang bisa menjadi wajib bagi orang tertentu."

Sedangkan ath-Thabari menekankan bahwa menjenguk  orang  sakit itu  merupakan kewajiban bagi orang yang diharapkan berkahnya, disunnahkan bagi orang yang memelihara kondisinya,  dan  mubah bagi orang selain mereka.

Imam  Nawawi  mengutip kesepakatan (ijma') ulama tentang tidak wajibnya, yakni tidak wajib 'ain.5

Menurut zhahir hadits, pendapat yang  kuat  menurut  pandangan saya  ialah  fardhu  kifayah,  artinya jangan sampai tidak ada seorang pun yang menjenguk si sakit.  Dengan  demikian,  wajib bagi   masyarakat   Islam   ada  yang  mewakili  mereka  untuk menanyakan  keadaan   si   sakit   dan   menjenguknya,   serta mendoakannya agar sembuh dan sehat.

Sebagian  ahli  kebajikan dari kalangan kaum muslim zaman dulu mengkhususkan  sebagian  wakaf  untuk  keperluan   ini,   demi memelihara sisi kemanusiaan.

Adapun masyarakat secara umum, maka hukumnya sunnah muakkadah, dan kadang-kadang bisa  meningkat  menjadi  wajib  bagi  orang tertentu  yang  mempunyai  hubungan  khusus dan kuat dengan si sakit. Misalnya, kerabat, semenda, tetangga yang  berdampingan rumahnya, orang yang telah lama menjalin persahabatan, sebagai hak guru dan kawan akrab,  dan  lain-lainnya,  yang  sekiranya dapat   menimbulkan  kesan  yang  macam-macam  bagi  si  sakit seandainya mereka tidak menjenguknya,  atau  si  sakit  merasa kehilangan    terhadap    yang    bersangkutan   (bila   tidak menjenguknya).

Barangkali  orang-orang  macam  inilah  yang  dimaksud  dengan perkataan  haq  (hak) dalam hadits: "Hak orang muslim terhadap muslim lainnya ada lima," karena tidaklah  tergambarkan  bahwa seluruh  kaum  muslim harus menjenguk setiap orang yang sakit. Maka yang dituntut ialah orang yang memiliki  hubungan  khusus dengan si sakit yang menghendaki ditunaikannya hak ini.

Disebutkan  dalam  Nailul-Authar:  "Yang dimaksud dengan sabda beliau (Rasulullah saw.) 'hak orang muslim' ialah tidak  layak ditinggalkan,  dan  melaksanakannya ada kalanya hukumnya wajib atau  sunnah  muakkadah  yang  menyerupai   wajib.   Sedangkan menggunakan  perkataan  tersebut  --yakni  haq  (hak)-- dengan kedua arti di atas termasuk bab  menggunakan  lafal  musytarik dalam   kedua   maknanya,   karena   lafal  al-haq  itu  dapat dipergunakan dengan arti 'wajib', dan dapat juga  dipergunakan dengan arti 'tetap,' 'lazim,' 'benar,' dan sebagainya."6

Fatawa al-Mu'ashirah: DR. Yusuf al-Qaradhawi
00.32 | 0 komentar | Read More

APAKAH MEMAKAI CADAR ITU BID'AH?

Pertanyaan:

Telah terjadi polemik dalam  beberapa  surat  kabar  di Kairo  seputar  masalah  "cadar"  yang dipakai sebagian remaja muslimah,  khususnya  para  mahasiswi.  Hal  itu berawal  dari keputusan Pengadilan Mesir yang menangani tuntutan  mahasiswi  beberapa  perguruan  tinggi,  yang mengajukan   tuntutan   ke   pengadilan  karena  merasa teraniaya dengan keputusan sebagian dekan yang  memaksa mereka melepas cadar apabila masuk kampus.

Para mahasiswi itu mengatakan bahwa mereka siap membuka tutup wajah mereka  manakala  diperlukan,  apabila  ada tuntutan  dari pihak yang bertanggung jawab, pada waktu ujian atau lainnya.

Seorang  wartawan  terkenal,  Ustadz  Ahmad  Bahauddin, menulis  artikel  -  dalam  surat kabar al-Ahram - yang isinya  bertentangan   dengan   keputusan   pengadilan. Menurutnya,  cadar  dan  penutup  wajah  itu  merupakan bid'ah yang masuk ke kalangan Islam dan umat Islam. Hal ini  diperkuat  oleh salah seorang dosen al-Azhar, yang mengaku bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin, dan sedikit banyak tahu tentang peradilan.

Kami  mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang masalah yang masih campur aduk antara yang hak dan  yang  batil ini.  Semoga  Allah  berkenan memberikan balasan kepada Ustadz dengan balasan yang sebaik-baiknya.

Jawaban:

Alhamdulillah,  segala  puji  kepunyaan   Allah,   Rabb semesta  alam.  Semoga  shalawat  dan  salam senantiasa tercurahkan kepada Rasul paling mulia,  junjungan  kita Nabi   Muhammad  saw.,  kepada  keluarganya,  dan  para sahabatnya.

Pada  kenyataannya,  mengidentifikasi   cadar   sebagai bid'ah  yang  datang  dari luar serta sama sekali bukan berasal  dari  agama  dan  bukan  dari  Islam,   bahkan menyimpulkan  bahwa  cadar masuk ke kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah  ilmiah  dan tidak  tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan  hanya menyesatkan  usaha untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya.

Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun  yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya, persoalan   apakah   boleh  membuka  wajah  atau  wajib menutupnya - demikian pula dengan hukum  kedua  telapak tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.

Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan ahli  fiqih,  ahli  tafsir,  maupun  ahli hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Sebab  perbedaan  pendapat itu kembali kepada pandangan mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah ini  dan  sejauh  mana  pemahaman  mereka  terhadapnya, karena tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut (jalan periwayatannya)  dan  dilalahnya (petunjuknya) mengenai masalah ini. Seandainya  ada  nash  yang  tegas  (tidak samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.

Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:

"...  Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dia berkata bahwa yang  dimaksud  dengan  "kecuali  apa yang biasa tampak daripadanya" ialah pakaian dan  jilbab,  yakni  pakaian luar yang tidak mungkin disembunyikan.

Mereka  juga  meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau menafsirkan "apa yang biasa tampak"  itu  dengan  celak dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dan penafsiran yang  hampir  sama  lagi diriwayatkan  dari  Aisyah.  Selain  itu, kadang-kadang lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.

Ada  pula  yang  menganggap  bahwa yang dimaksud dengan "perhiasan" disini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata, "(Yang   dimaksud   ialah)  bagian  wajah  dan  telapak tangan." Dan penafsiran serupa juga  diriwayatkan  dari Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.

Sebagian  ulama  lagi  menganggap  bahwa  sebagian dari lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu.

Ibnu Athiyah  menafsirkannya  dengan  apa  yang  tampak secara  darurat,  misalnya  karena  dihembus angin ataulainnya.1

Mereka juga berbeda pendapat dalam  menafsirkan  firman Allah:

"Hai  Nabi,  katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan  istri-isti  orang  mukmin,  'Hendaklah mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian  itu  supaya  mereka  lebih  mudah  untuk dikenal,  karena  itu  mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (al-Ahzab: 59)

Maka  apakah  yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab" dalam ayat tersebut?

Mereka meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  yang  merupakan kebalikan  dari  penafsirannya  terhadap  ayat pertama. Mereka meriwayatkan dari  sebagian  tabi'in  -  Ubaidah as-Salmani  -  bahwa  beliau  menafsirkan  "mengulurkan jilbab" itu dengan  penafsiran  praktis  (dalam  bentuk peragaan), yaitu beliau menutup muka dan kepala beliau, dan membuka mata beliau  yang  sebelah  kiri.  Demikian pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.

Tetapi  penafsiran  kedua  beliau  ini  ditentang  oleh Ikrimah, maula (mantan budak) Ibnu Abbas. Dia  berkata, "Hendaklah   ia   (wanita)   menutup  lubang  (pangkal) tenggorokannya  dengan  jilbabnya,  dengan  mengulurkan jilbab tersebut atasnya."

Sa'id  bin  Jubair  berkata,  "Tidak  halal bagi wanita muslimah  dilihat  oleh   lelaki   asing   kecuali   ia mengenakan   kain   di   atas   kerudungnya,   dan   ia mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."2

Dalam hal  ini  saya  termasuk  orang  yang  menguatkan pendapat  yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita muslimah menutupnya.  Karena  menurut saya, dalil-dalil pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang lain.

Disamping itu, banyak sekali ulama zaman sekarang  yang sependapat   dengan   saya,   misalnya  Syekh  Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya  Hijabul  Mar'atil Muslimah   fil-Kitab  was-Sunnah  dan  mayoritas  ulama al-Azhar  di  Mesir,   ulama   Zaitunah   di   Tunisia, Qarawiyyin  di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.

Meskipun demikian, dakwaan (klaim) adanya  ijma'  ulamasekarang  terhadap  pendapat  ini  juga tidaklah benar,karena  di  kalangan  ulama  Mesir  sendiri  ada   yangmenentangnya.

Ulama-ulama  Saudi  dan  sejumlah  ulama  negara-negara Teluk menentang  pendapat  ini,  dan  sebagai  tokohnya adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz.

Banyak  pula  ulama  Pakistan  dan India yang menentang pendapat ini,  mereka  berpendapat  kaum  wanita  wajib menutup  mukanya.  Dan  diantara  ulama  terkenal  yang berpendapat  demikian  ialah  ulama  besar   dan   da'i terkenal,  mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.

Adapun diantara ulama masa kini yang masih  hidup  yang mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah penulis  kenamaan  dari  Suriah,  Dr.  Muhammad   Sa'id Ramadhan al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi (Kepada setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .

Disamping    itu,    masih   terus   saja   bermunculan risalah-risalah dan fatwa-fatwa  dari  waktu  ke  waktu yang  menganggap  aib jika wanita membuka wajah. Mereka menyeru kaum wanita dengan  mengatasnamakan  agama  dan iman  agar  mereka  mengenakan  cadar, dan menganjurkan agar jangan  patuh  kepada  ulama-ulama  "modern"  yang ingin   menyesuaikan  agama  dengan  peradaban  modern. Barangkali  mereka  memasukkan  saya  kedalam  kelompok ulama seperti ini.

Jika  dijumpai  diantara  wanita-wanita  muslimah  yang merasa  mantap  dengan  pendapat  ini,  dan  menganggap membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka bagaimana  kita  akan  mewajibkan  kepadanya  mengikuti pendapat  lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan dengan nash?

Kami hanya mengingkari mereka  jika  mereka  memasukkan pendapatnya  kepada orang lain, dan menganggap dosa dan fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu, serta   menganggapnya  sebagai  kemunkaran  yang  wajib diperangi, padahal para  ulama  muhaqiq  telah  sepakat mengenai  tidak  bolehnya  menganggap  munkar  terhadap masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.

Kalau kami mengingkari (menganggap munkar)  pelaksanaan pendapat  yang  berbeda  dengan  pendapat  kami - yaitu pendapat yang muttabar dalam bingkai fiqih  Islam  yang lapang  -  kemudian  mencampakkan pendapat tersebut dan tidak memberinya hak hidup,  hanya  semata-mata  karena berbeda  dengan  pendapat  kami,  berarti kami terjatuh kedalam hal yang terlarang, yang  justru  kami  perangi dan   kami   seru   manusia   untuk   membebaskan  diri daripadanya.

Bahkan  seandainya  wanita  muslimah   tersebut   tidak menganggap   wajib   menutup   muka,  tetapi  ia  hanya menganggapnya  lebih  wara'  dan   lebih   takwa   demi membebaskan  diri  dari  perselisihan pendapat, dan dia mengamalkan yang lebih hati-hati,  maka  siapakah  yang akan  melarang  dia  mengamalkan  pendapat  yang  lebih hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas dia  dicela  selama  tidak  mengganggu  orang lain, dan tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum  dan khusus?

Saya  mencela  penulis  terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin yang menulis masalah ini dengan  tidak  merujuk  kepada sumber-sumber  tepercaya,  lebih-lebih  tulisannya  ini dimaksudkan   sebagai   sanggahan   terhadap    putusan pengadilan  khusus  yang bergengsi. Sementara kalau dia menulis masalah politik, dia menulisnya dengan  cermat, penuh   pertimbangan,   dan   dengan   pandangan   yang menyeluruh.

Boleh  jadi  karena   dia   bersandar   pada   sebagian tulisan-tulisan  ringan yang tergesa-gesa dan sembarang yang membuatnya terjatuh ke  dalam  kesalahan  sehingga dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan dikiaskannya dengan  "pakaian  renang"  yang  sama-sama tidak memberi kebebasan pribadi.

Tidak  seorang  pun  ulama  dahulu  dan  sekarang  yang mengharamkan memakai cadar  bagi  wanita  secara  umum, kecuali  hanya  pada  waktu ihram. Dalam hal ini mereka hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib, mustahab, dan jaiz.

Sedangkan  tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli fiqih   yang   berpendapat   demikian,   bahkan    yang memakruhkannya  pun  tidak  ada. Maka saya sangat heran kepada Ustadz Bahauddin yang  mengecam  sebagian  ulama al-Azhar  yang  mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai telah mengharamkan  apa  yang  dihalalkan  Allah,  atau sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan pengetahuan   yang   mendalam    mengenai    Al-Qur'an, as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.

Kalau   hal  itu  hanya  sekadar  mubah  -  sebagaimana pendapat yang saya pilih, bukan wajib  dan  bukan  pula mustahab  -  maka  merupakan  hak  bagi  muslimah untuk membiasakannya, dan tidak boleh  bagi  seseorang  untuk melarangnya,    karena   ia   cuma   melaksanakan   hak pribadinya.    Apalagi,    dalam    membiasakan    atau mengenakannya  itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan tidak membahayakan seseorang. Ada  pepatah  Mesir  yang menyindir orang yang bersikap demikian:

"Seseorang   bertopang   dagu,   mengapa   Anda   kesal terhadapnya?"

Hukum   buatan   manusia   sendiri   mengakui   hak-hak perseorangan ini dan melindunginya.

Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah yang komitmen pada agamanya dan hendak  memakai  cadar, sementara  diantara  mahasiswi-mahasiswi  di  perguruan tinggi itu ada yang  mengenakan  pakaian  mini,  tipis, membentuk  potongan  tubuhnya  yang  dapat  menimbulkan fitnah   (rangsangan),   dan   memakai   bermacam-macam make-up,  tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal  pakaian yang  tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup bagian  tubuh  selain  wajah  dan  kedua   tangan   itu diharamkan  oleh  syara'  demikian  menurut kesepakatan kaum muslim.

Kalau pihak yang bertanggung jawab di  kampus  melarang pakaian  yang  seronok  itu,  sudah tentu akan didukung oleh syara' dan  undang-undang  yang  telah  menetapkan bahwa  agama  resmi  negara  adalah  Islam,  dan  bahwa hukum-hukum  syariat  Islam  merupakan   sumber   pokok perundang-undangan.

Namun kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya!

Sungguh   mengherankan!   Mengapa   wanita-wanita  yang berpakaian tetapi  telanjang,  yang  berlenggak-lenggok dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang  menegurnya? Kemudian  mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan serta caci maki terhadap wanita-wanita  bercadar,  yang berkeyakinan  bahwa  hal itu termasuk ajaran agama yang tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?

Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan  sebelum  dan sesudahnya.  Tidak  ada daya untuk menjauhi kemaksiatan dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan.

 Fatawa al-Mu'ashirah: DR. Yusuf al-Qaradhawi
 
Catatan kaki:

1 Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan pada ad-Durrul Mantsur (5: 41-42), dan lain-lain. ^
2 Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222, dan sumber-sumber terdahulu mengenai penafsiran ayat tersebut. ^

00.28 | 0 komentar | Read More

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN



Pertanyaan:

Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan  sudah  barang tentu  juga  dihadapi  orang  lain,  yaitu  masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan  wanita,  khususnya  terhadap kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara  ibu,  atau saudara  wanita  istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan  kekerabatan  atau  persemendaan  dengan  saya. Lebih-lebih  dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji  atau  umrah, atau  saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan  bertahni'ah (mengucapkan  selamat  atasnya)  dan  berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain.

Pertanyaan saya, apakah ada nash  Al-Qur'an  atau  As-Sunnah yang  mengharamkan  berjabat  tangan antara laki-laki dengan wanita,  sementara  sudah  saya  sebutkan  banyak   motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping ada rasa saling percaya. aman dari  fitnah,  dan  jauh  dari rangsangan  syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama  ini kuno   dan   terlalu   ketat,   merendahkan  wanita,  selalu berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.

Apabila ada dalil syar'inya, maka kami  akan  menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan kami  kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka  adakalanya fuqaha-fuqaha   kita   sekarang   boleh   berbeda   pendapat dengannya, apabila  mereka  mempunyai  ijtihad  yang  benar, dengan  didasarkan  pada  tuntutan peraturan yang senantiasa berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.

Karena itu, saya menulis  surat  ini  kepada  Ustadz  dengan harapan  Ustadz  berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya berdasarkan  Al-Qur'anul  Karim  dan  Al-Hadits  asy-Syarif. Kalau   ada  dalil  yang  melarang  sudah  tentu  kami  akan berhenti; tetapi jika dalam  hal  ini  terdapat  kelapangan, maka  kami  tidak  mempersempit  kelapangan-kelapangan  yang diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih  sangat  diperlukan dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.

Saya  berharap  kesibukan-kesibukan  Ustadz  yang banyak itu tidak menghalangi Ustadz  untuk  menjawab  surat  saya  ini, sebab  -  sebagaimana  saya  katakan di muka - persoalan ini bukan  persoalan  saya  seorang,  tetapi  mungkin  persoalan berjuta-juta orang seperti saya.

Semoga  Allah  melapangkan  dada  Ustadz untuk menjawab, dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz  untuk  menahkik  masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.

Jawaban:

Tidak  perlu  saya  sembunyikan kepada saudara penanya bahwa masalah  hukum  berjabat  tangan  antara  laki-laki   dengan perempuan  -  yang  saudara tanyakan itu - merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik  hukumnya  tidak  bisa dilakukan  dengan  seenaknya.  Ia memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga  si  mufti  harus bebas  dari  tekanan  pikiran  orang  lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila  tidak  didapati acuannya    dalam    Al-Qur'an    dan   As-Sunnah   sehingga argumentasi-argumentasinya    dapat    didiskusikan    untuk memperoleh  pendapat  yang  lebih  kuat  dan lebih mendekati kebenaran menurut  pandangan  seorang  faqih,  yang  didalam pembahasannya    hanya    mencari    ridha    Allah,   bukan memperturutkan hawa nafsu.

Sebelum memasuki pembahasan  dan  diskusi  ini,  saya  ingin mengeluarkan  dua  buah  gambaran  dari  lapangan  perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum  kedua  gambaran itu  tidak  diperselisihkan  oleh  fuqaha-fuqaha  terdahulu, menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:

Pertama, diharamkan berjabat tangan  dengan  wanita  apabila disertai  dengan  syahwat  dan  taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan  syahwat  sudah  barang  tentu  lebih terlarang lagi; penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya  fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju  kerusakan  itu  adalah wajib,  lebih-lebih  jika  telah  tampak  tanda-tandanya dan

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para  ulama bahwa  bersentuhan  kulit  antara laki-laki dengannya - yang pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram  apabila disertai   dengan   syahwat  atau  dikhawatirkan  terjadinya fitnah,1 khususnya dengan  anak  perempuan  si  istri  (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan  hati  ibu  kandung, anak  kandung,  saudara  wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.

Kedua,  kemurahan  (diperbolehkan)  berjabat  tangan  dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil  yang  belum  mempunyai syahwat  terhadap  laki-laki,  karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.

Hal  ini  didasarkan  pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa  orang  wanita tua,  dan  Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk  merawatnya,  maka  wanita  itu   mengusapnya   dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2

Hal  ini  sudah  ditunjukkan  Al-Qur'an  dalam  membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari  haid  dan mengandung),  dan  tiada  gairah  terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain:

"Dan  perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka   dosa   menanggalkan  pakaian  mereka  dengan  tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan  adalah lebih  baik  bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (an-Nur: 60)

Dikecualikan  pula  laki-laki  yang  tidak  memiliki  gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya.  Mereka  dikecualikan  dari   sasaran   larangan terhadap   wanita-wanita   mukminah  dalam  hal  menampakkan perhiasannya.

"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau  saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau   putra-putra   saudara    perempuan    mereka,    atau wanita-wanita  Islam,  atau  budak-budak yang mereka miliki, atau  pelayan-pelayan   laki-laki   yang   tidak   mempunyai keinginan   (terhadap  wanita)  atau  anak-anak  yang  belum mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)

Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan  dan  pembahasan serta memerlukan pengkajian dan tahkik.

Golongan yang mewajibkan  wanita  menutup  seluruh  tubuhnya hingga  wajah  dan  telapak  tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:

"... Dan janganlah mereka menampakkan  perhiasannya  kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Bahkan  mereka  menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar seperti baju  panjang,  mantel,  dan sebagainya,   atau   yang   tampak  karena  darurat  seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya.  Maka tidak   mengherankan   lagi  bahwa  berjabat  tangan  antara laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram.  Sebab, apabila   kedua   telapak  tangan  itu  wajib  ditutup  maka melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja  haram, apa  lagi  menyentuhnya.  Sebab,  menyentuh  itu lebih berat daripada melihat,  karena  ia  lebih  merangsang,  sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.

Tetapi  sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas  fuqaha  dari kalangan  sahabat,  tabi'in,  dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang biasa  tampak  daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.

Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat  tangan yang tidak disertai syahwat?

Sebenarnya  saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan  demikian,  tetapi  tidak  saya temukan.

Dalil  yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari'ah), dan  alasan  ini  dapat  diterima  tanpa ragu-ragu  lagi  ketika  syahwat tergerak, atau karena takut fitnah  bila  telah  tampak  tanda-tandanya.  Tetapi   dalam kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak keharamannya?

Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang tidak   berjabat   tangan  dengan  perempuan  ketika  beliau membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah  yang  terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.

Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi sawmeninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan  secara   pasti   -   akan  keharamannya.  Adakalanya  beliameninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruhadakalanya  hal  itu  kurang  utama,  dan  adakalanya  hanysemata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, sepertbeliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.

Kalau  begitu,  sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak  dapat  dijadikan  dalil  untuk  menetapkan keharamannya,  oleh  karena  itu  harus  ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.

Lebih dari itu,  bahwa  masalah  Nabi  saw.  tidak  berjabat tangan  dengan  kaum  wanita  pada  waktu  bai'at  itu belum disepakati,   karena   menurut    riwayat    Ummu    Athiyah al-Anshariyah  r.a.  bahwa  Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari  Aisyah  bahwa Rasulullah   saw.   menguji   wanita-wanita   mukminah  yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:

"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan  yang beriman  untuk  mengadakan  janji  setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan  Allah;  tidak  akan mencuri,   tidak   akan   berzina,   tidak   akan   membunuh anak-anaknya,  tidak  akan   berbuat   dusta   yang   mereka ada-adakan  antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka  terimalah  janji setia  mereka  dan  mohonkanlah  ampunan  kepada Allah untuk mereka.  Sesungguhnya  Allah  Maha   Pengampun   lagi   Maha Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)

Aisyah  berkata,  "Maka  barangsiapa  diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut,  Rasulullah  saw.berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan saja - dan  demi  Allah  tangan  beliau  sama  sekali  tidak menyentuh  tangan  wanita  dalam  bai'at  itu;  beliau tidak membai'at mereka melainkan dengan  mengucapkan,  'Aku  telah membai'atmu tentang hal itu.'" 4

Dalam  mensyarah  perkataan  Aisyah "Tidak, demi Allah ...," al-Hafizh Ibnu  Hajar  berkata  dalam  Fathul  Bari  sebagai berikut:   Perkataan  itu  berupa  sumpah  untuk  menguatkan berita,  dan  dengan  perkataannya  itu  seakan-akan  Aisyah hendak   menyangkal   berita  yang  diriwayatkan  dari  Ummu Athiyah.   Menurut   riwayat   Ibnu    Hibban,    al-Bazzar, ath-Thabari,  dan  Ibnu  Mardawaih,  dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari  neneknya,  Ummu  Athiyah,  mengenai  kisahbai'at, Ummu Athiyah berkata:

"Lalu  Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah,  kemudian beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"

Demikian  pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:

"Seorang wanita menahan tangannya"

Memberi kesan seolah-olah  mereka  melakukan  bai'at  dengan tangan mereka.

Al-Hafizh  (Ibnu  Hajar)  berkata:  "Untuk  yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa  mengulurkan  tangan  dari  balik hijab  mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak sampai berjabat tangan...  Adapun  untuk  yang  kedua,  yang dimaksud  dengan  menggenggam  tangan  itu  ialah menariknya sebelum  bersentuhan...  Atau  bai'at  itu  terjadi   dengan menggunakan lapis tangan.

Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau  membawa  kain selimut  bergaris  dari  Qatar  lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata,

"Aku tidak berjabat dengan wanita."

Dalam  Maghazi  Ibnu  Ishaq  disebutkan  bahwa   Nabi   saw. memasukkan  tangannya  ke  dalam  bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.

Ibnu Hajar berkata: "Dan boleh  jadi  berulang-ulang,  yakni peristiwa   bai'at   itu   terjadi  lebih  dari  satu  kali, diantaranya ialah bai'at yang terjadi di mana  beliau  tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membai'at hanya dengan  perkataan saja,  dan  inilah  yang  diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain beliau  tidak  berjabat  tangan  dengan wanita   dengan   menggunakan   lapis,   dan   inilah   yang diriwayatkan oleh asy-Sya'bi."

Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang  disebutkan Ibnu  Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang  ditunjukkan  oleh  perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.

Diantara      alasan     yang     memperkuat     kemungkinan berulang-ulangnya bai'at itu ialah bahwa Aisyah membicarakan bai'at   wanita-wanita   mukminah   yang  berhijrah  setelah terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah,  sedangkan  Ummu Athiyah  -  secara  lahiriah  - membicarakan yang lebih umum daripada itu dan  meliputi  bai'at  wanita  mukminah  secara umum,  termasuk didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah  si  perawi  hadits.  Karena   itu,   Imam   Bukhari memasukkan  hadits  Aisyah  di  bawah  bab  "Idzaa  Jaa  aka al-Mu'minaat Muhaajiraat,"  sedangkan  hadits  Ummu  Athiyah dimasukkan   dalam   bab   "Idzaa   Jaa  aka  al-  Mu'minaat Yubaayi'naka."

Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa  yang  dijadikan acuan  oleh  kebanyakan  orang  yang  mengharamkan  berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yaitu bahwa  Nabi saw.   tidak   berjabat  tangan  dengan  wanita  -  belumlah disepakati. Tidak seperti sangkaan  orang-orang  yang  tidak merujuk  kepada  sumber-sumber  aslinya.  Masalah ini bahkan masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.

Sebagian  ulama  sekarang  ada  yang  mengharamkan  berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma'qil bin Yasar  dari  Nabi  saw.,  beliau bersabda:

"Sesungguhnya  ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi  itu  lebih  baik  daripada  ia  menyentuh wanita yang tidak halal baginya."5

Ada  beberapa  hal  yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil:

1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan kesahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan, "Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi sahih."

Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau terdapat 'illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.
 
2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti Al-Qur'anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang sahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya?
 
3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat "menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya" itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa - yamassu - mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar'iyah seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:
 
a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: "Laamastum an-Nisat" (Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, "Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai kiasan untuk jima' (hubungan seksual). Secara umum, ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan Maryam:

"Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun ..." (Ali Imran:47)
 
"Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka..." (al-Baqarah: 237)

Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya ....
 
b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah kategori jima', seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.
 
Al-Hakim mengatakan dalam "Kitab ath-Thaharah" dalam al-Mustadrak 'al a ash-Shahihaini sebagai berikut :
 
Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) dibawah jima':
 
(1) Diantaranya hadits Abu Hurairah:
 
"Tangan, zinanya ialah menyentuh..."
 
(2) Hadits Ibnu Abbas:
 
 "Barangkali engkau menyentuhnya...?"
 
(3) Hadits lbnu Mas'ud:
 
"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)..."6
 
Al-Hakim berkata, "Dan masih ada beberapa hadits sahih pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya ..." Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya:
 
(4) Dari Aisyah, ia berkata:
 
"Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah saw. mengelilingi kami semua - yakni istri-istrinya - lalu  beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya dibawah jima'. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ."
 
(5) Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Au laamastum an-nisa" (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan dibawah jima', dan untuk ini wajib wudhu."
 
(6) Dan dari Umar, ia berkata, "Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya."7

Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki  dan  mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang  membatalkan  wudhu  itu  ialah  yang  disertai  dengan syahwat.   Dan   dengan  pengertian  seperti  inilah  mereka menafsirkan firman Allah, "au laamastum an-nisa'" (atau kamu menyentuh wanita).

Karena  itu,  Syekhul  Islam  Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan   pendapat   orang   yang    menafsirkan    lafal "mulaamasah"  atau  "al-lams"  dalam  ayat  tersebut  dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.

Diantara yang beliau katakan mengenai  masalah  ini  seperti berikut:

Adapun   menggantungkan   batalnya  wudhu  dengan  menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan   dengan   ushul,   bertentangan  dengan  ijma' sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu.

Apabila  lafal  al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau jika  kamu  menyentuh  wanita  ...)  itu  dimaksudkan  untuk menyentuh  dengan  tangan  atau  mencium  dan  sebagainya  - seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya  -  maka  sudah dimengerti  bahwa  ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang dimaksud  ialah  yang  dilakukan  dengan bersyahwat,  seperti  firman  Allah dalam ayat i'tikaf: "... Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika  kamu  sedang i'tikaf dalam masjid..." (al-Baqarah: 187)

Mubasyarah  (memeluk)  bagi orang yang sedang i'tikaf dengan tidak  bersyahwat  itu  tidak  diharamkan,  berbeda   dengan memeluk yang disertai syahwat.

Demikian   pula   firman   Allah:   "Jika  kamu  menceraikan istri-istrimu   sebelum   kamu   menyentuh    mereka    ..." (al-Baqarah:  237).  Atau  dalam ayat sebelumnya disebutkan: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu,  jika  kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 236).

Karena  seandainya  si  suami  hanya   menyentuhnya   dengan sentuhan  biasa  tanpa  syahwat,  maka tidak wajib iddah dan tidak  wajib  membayar  mahar  secara   utuh   serta   tidak menjadikan  mahram  karena  persemendaan menurut kesepakatan ulama.

Barangsiapa menganggap bahwa  lafal  au  laamastum  an-nisa' mencakup  sentuhan  biasa  meskipun tidak dengan bersyahwat, maka ia  telah  menyimpang  dari  bahasa  Al-Qur'an,  bahkan menyimpang   dari  bahasa  manusia  sebagaimana  yang  sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan  lafal  al-mass  (menyentuh) yang  diiringi  dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh  dengan  bersyahwat, sebagaimana  bila  disebutkan  lafal  al-wath'u  (yang  asal artinya "menginjak") yang diikuti dengan kata-kata laki-laki  dan  perempuan,  maka  tahulah  ia bahwa yang dimaksud ialahal-wath'u  dengan   kemaluan   (yakni   bersetubuh),   bukan menginjak dengan kaki."8

Di  tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah  au  laamastum annisa'. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima'. dan mereka  berkata,  "Allah  itu Pemalu  dan  Maha  Mulia.  Ia  membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki."

Beliau  berkata,  "Ini  yang  lebih  tepat  diantara   kedua pendapat tersebut."

Bangsa  Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima' atau tindakan  dibawah jima'.  Bangsa  Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima'. Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata:   yang  dimaksud  ialah  tindakan  di  bawah  jima' (pra-hubungan  biologis).  Lalu  mereka  meminta   keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9

Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita  ketahui  bahwa kata-kata   al-mass  atau  al-lams  ketika  digunakan  dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan  dengan semata-mata  bersentuhan  kulit  biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin  jima'  (hubungan  seks)  atau  pendahuluannya seperti  mencium,  memeluk,  dan  sebagainya  yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.

Kalau kita perhatikan riwayat  yang  sahih  dari  Rasulullah saw.,  niscaya  kita  jumpai  sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata  bersentuhan  tangan  antara  laki-laki   dengan perempuan  tanpa  disertai  syahwat  dan tidak dikhawatirkan terjadinya  fitnah   tidaklah   terlarang,   bahkan   pernah dilakukan  oleh  Rasulullah  saw.,  sedangkan  pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu adalah tasyri' dan untuk diteladani:

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw.  itu  suri teladan yang baik bagimu..." (al-Ahzab: 21)

Imam  Bukhari  meriwayatkan  dalam  Shahih-nya  pada  "Kitab al-Adab" dari Anas bin Malik r.a., ia berkata:

"Sesungguhnya  seorang  budak  wanita  diantara  budak-budak penduduk  Madinah  memegang  tangan  Rasulullah  saw.,  lalu membawanya pergi ke mana ia suka."

Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:

"Sesungguhnya  seorang  budak  perempuan  dari   budak-budak penduduk  Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw.,  maka  beliau  tidak  melepaskan  tangan  beliau  dari tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka."

Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:

"Yang   dimaksud   dengan   memegang   tangan  disini  ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang  dan  ketundukan,  dan  ini meliputi  bermacam-macam  kesungguhan dalam tawadhu', karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki,  dan  disebutkannya budak  bukan  orang  merdeka,  digunakannya  kata-kata  umum dengan lafal al-imaa' (budak-budak perempuan),  yakni  budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa'at (kemana saja ia  suka),  yakni  ke  tempat  mana  saja.  Dan ungkapan    dengan    "mengambil/memegang   tangannya"   itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu  memenuhi  keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya.

Ini  merupakan  dalil  yang  menunjukkan  betapa tawadhu'nya Rasulullah saw.  dan  betapa  bersihnya  beliau  dari  sikap sombong."10

Apa  yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi  beliau  memalingkan  makna  memegang tangan  dari  makna  lahiriahnya  kepada  kelazimannya  yang berupa kasih sayang dan ketundukan,  tidak  dapat  diterima, karena  makna  lahir  dan  kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya  perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan  dalam  hal  ini  saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna  lahir  itu,  bahkan riwayat  Imam  Ahmad  yang  menyebutkan  "maka  beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia  membawa beliau  pergi  kemana saja ia suka" menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah  yang  dimaksud.  Sungguh  termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.

Lebih banyak dan lebih mengena lagi  apa  yang  diriwayatkan dalam  Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas "bahwa Nabi saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas yang  bernama  Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, danbeliau tidur di sisi  Ummu  Haram  dengan  meletakkan  kepala  beliau  di pangkuan  Ummu  Haram,  dan  Ummu  Haram membersihkan kepala beliau dari kutu ..."

Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan,  "Hadits ini  memperbolehkan  tamu  tidur  siang  di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi  persyaratannya,  seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing  (bukan  istri)  melayani  tamu  dengan  menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya.

Hadits  ini  juga  memperbolehkan  wanita  melayani  tamunya dengan  membersihkan  kutu   kepalanya.   Tetapi   hal   ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil Barr berkata, "Saya kira Ummu Haram itu  dahulunya  menyusui Rasulullah  saw.  (waktu  kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga  masing-masing  berkedudukan  "sebagai  ibu susuan"  atau  bibi susuan bagi Rasulullah saw.. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram."

Selanjutnya   Ibnu  Abdil  Barr  membawakan  riwayat  dengan sanadnya  yang  menunjukkan  bahwa  Ummu   Haram   mempunyai hubungan  mahram  dengan  Rasul  dari  jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi,  adalah  dari Bani Najjar ...

Yang  lain  lagi berkata, "Nabi saw. itu maksum (terpelihara dari  dosa  dan  kesalahan).  Beliau   mampu   mengendalikan hasratnya  terhadap  istrinya,  maka  betapa  lagi  terhadap wanita  lain  mengenai   hal-hal   yang   beliau   disucikan daripadanya?  Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan  kotor,  dan  ini  termasuk   kekhususan beliau."

Tetapi  pendapat  ini  disangkal oleh al-Qadhi 'Iyadh dengan argumentasi bahwa  kekhususan  itu  tidak  dapat  ditetapkan dengan   sesuatu   yang   bersifat   kemungkinan.   Tetapnya kemaksuman  beliau  memang  dapat  diterima,   tetapi   pada dasarnya  tidak  ada  kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam  semua  tindakan  beliau,  sehingga  ada  dalil   yang menunjukkan kekhususannya.

Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang  yang  mengatakan  kemungkinan  pertama, yaitu  anggapan  tentang  adanya  hubungan kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau berkata:

"Mengigau orang yang menganggap  Ummu  Haram  sebagai  salah seorang  bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang  menyusukan  beliau  tidak ada  seorang  pun  di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid  bin  Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam,  kakek  mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab  ini adalah  bibi  majazi,  seperti  perkataan Nabi saw. terhadap Sa'ad bin Abi Waqash, "Ini pamanku" karena Sa'ad  dari  Bani Zahrah,  kerabat  ibu  beliau  Aminah, sedangkan Sa'ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan."

Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, "Apabila  sudah  tetap yang  demikian,  maka terdapat riwayat dalam ash-Shahlh yang menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah  masuk  ke  tempat wanita   selain  istri-istri  beliau,  kecuali  kepada  Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, 'Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama  saya.'  Yakni  Haram  bin  Milhan,  yang terbunuh pada waktu peperangan Bi'r Ma'unah."

Apabila  hadits  ini  mengkhususkan  pengecualian untuk Ummu Sulaim,  maka  demikian  pula  halnya  dengan   Ummu   Haram tersebut.   Karena  keduanya  adalah  bersaudara  dan  hidup didalam  satu  rumah,  sedangkan  Haram  bin  Milhan  adalah saudara  mereka  berdua.  Maka 'illat (hukumnya) adalah sama diantara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar.

Dan ditambahkan  pula  kepada  'illat  tersebut  bahwa  Ummu Sulaim  adalah  ibu Anas, pelayan Nabi saw., sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan,  yang  dilayani, serta   keluarganya,   serta  ditiadakan  kekhawatiran  yang terjadi diantara orang-orang luar.

Kemudian  ad-Dimyati  berkata,  "Tetapi  hadits  itu   tidak menunjukkan  terjadinya khalwat antara Nabi saw. dengan Ummu Haram,  kemungkinan  pada  waktu  itu  disertai  oleh  anak, pembantu, suami, atau pendamping."

Ibnu  Hajar  berkata,  "Ini merupakan kemungkinan yang kuat,tetapi masih  belum  dapat  menghilangkan  kemusykilan  dariasalnya,  karena  masih adanya mulamasah (persentuhan) dalammembersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan."

Al-Hafizh berkata, "Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini ialah  dengan  menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak  ditetapkan kecuali  dengan  dalil,  karena dalil mengenai hal ini sudah jelas."11

Tetapi  saya  tidak  tahu  mana  dalilnya  ini,  samar-samar ataukah jelas?

Setelah  memperhatikan  riwayat-riwayat  tersebut, maka yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata  bersentuhan kulit  tidaklah  haram.  Apabila  didapati  sebab-sebab yang menjadikan  percampuran  (pergaulan)  seperti  yang  terjadi antara  Nabi  saw.  dengan  Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman  dari  fitnah  bagi  kedua  belah  pihak,  maka   tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti  ketika  datang  dari  perjalanan jauh,  seorang  kerabat  laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau  sebaliknya,  seperti  anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri  paman,  dan  sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.

Dalam  menutup  pembahasan  ini  ada dua hal yang perlu saya tekankan:

Pertama,  bahwa  berjabat  tangan   antara   laki-laki   danperempuan  itu  hanya  diperbolehkan  apabila tidak disertaidengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkanterjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwatdan taladzdzudz (berlezat-lezat)  dari  salah  satunya  (apalagi  keduanya;  penj.) maka keharaman berjabat tangan tidakdiragukan lagi.

Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi  -  yaitu tiadanya  syahwat  dan  aman  dari fitnah - meskipun jabatan tangan  itu  antara  seseorang  dengan   mahramnya   seperti bibinya,   saudara  sesusuan,  anak  tirinya,  ibu  tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan  pada  kondisi seperti itu adalah haram.

Bahkan  berjabat  tangan  dengan  anak  yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.

Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas  ada  kebutuhan saja,  seperti  yang  disebutkan  dalam  pertanyaan di atas, yaitu dengan  kerabat  atau  semenda  (besan)  yang  terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi  membendung  pintu kerusakan,  menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani  Nabi  saw.  -  tidak  ada  riwayat   kuat   yang menyebutkan  bahwa  beliau  pernah  berjabat  tangan  dengan wanita lain (bukan kerabat  atau  tidak  mempunyai  hubungan yang erat).

Dan  yang  lebih  utama  bagi seorang muslim atau muslimah - yang komitmen pada agamanya - ialah tidak  memulai  berjabat tangan  dengan  lain  jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.

Saya tetapkan keputusan ini untuk  dilaksanakan  oleh  orang yang  memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan  bagi   orang   yang   telah   mengetahui   tidak   usah mengingkarinya    selama   masih   ada   kemungkinan   untuk berijtihad.

Wallahu a'lam.

Catatan kaki:

 1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155. ^
 2 Ibid.,  4: 156-157 ^
 3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur'an dan Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.) ^
 4 HR Bukhari dalam sahihnya, dalam "Kitab Tafsir Surat al-Mumtahanah," Bab "Idzaa Jaa'aka al-Mu'minaatu Muhaajiraat." ^
 5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: "Perawi-perawi Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang sahih." ^
 6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang artinya), "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk..." (Hud: 114) (HR Muslim dengan lafal ini dalam "Kitab at-Taubah," nomor 40)  ^
 7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135. ^
 8 Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224. ^
 9 Ibid. ^
10 Fathul Bari, juz 13. ^
11 Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan susunan redaksional ^
00.22 | 0 komentar | Read More