Alī bin Abu Thālib (599 – 661 H) adalah salah seorang
pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Rasulullah saw saw. Menurut
Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan
Syi'ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih
oleh Rasulullah saw. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka
setuju memanggil Ali bin Abu Thalib dengan sebutan Imam, sehingga Ali bin Abu
Thalib menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali bin Abu
Thalib adalah sepupu dari Rasulullah saw, dan setelah menikah dengan Fatimah
az-Zahra, ia menjadi menantu Rasulullah saw.
Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abu Thalib
Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abu Thalib adalah khalifah
yang berhak menggantikan Nabi Rasulullah saw, dan sudah ditunjuk oleh Beliau
atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi'ah meninggikan kedudukan Ali bin Abu Thalib
atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani
Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali bin Abu Thalib sama dengan Sahabat
Nabi yang lain. Sunni menambahkan nama Ali bin Abu Thalib dengan Radhiyallahu
Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya.
Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang
lain.
Sufi menambahkan nama Ali bin Abu Thalib bin Abi Thalib
dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan
wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau
tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang
sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka
memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan
riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila
pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali bin
Abu Thalib enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki
pakaiannya.
Ali bin Abu Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam
dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual
warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh)
atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah
keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti
pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang
merupakan keturunan langsung dari Ali bin Abu Thalib melalui anaknya Hasan bin Ali
bin Abu Thalib seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir
Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Kelahirannya
Ali bin Abu Thalib dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz,
Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali bin Abu Thalib
dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Rasulullah saw, sekitar tahun
599 Masehi. Usia Ali bin Abu Thalib terhadap Rasulullah saw masih
diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada
yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Rasulullah
saw SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib
untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di
antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir
diberi nama Haydar, Nabi saw. memanggil dengan Ali bin Abu Thalib yang
berarti Tinggi(derajat di sisi Allah). Ali bin Abu Thalib dilahirkan
dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari
Hasyim, sehingga menjadikan Ali bin Abu Thalib, merupakan keturunan Hasyim dari
sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abu Thalib banyak memberi hiburan bagi
Nabi saw. karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqirnya keluarga
Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi saw. bersama istri beliau Khadijah
untuk mengasuh Ali bin Abu Thalib dan menjadikannya putra angkat. Hal ini
sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak
beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali bin Abu Thalib sudah
bersama dengan Rasulullah saw.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali bin Abu Thalib
kepada Nabi Rasulullah saw dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya)
kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat
Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Masa Remaja
Ketika Nabi Rasulullah saw .menerima wahyu, riwayat-riwayat
seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali bin Abu Thalib adalah lelaki pertama yang
mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri
Nabi sendiri. Pada titik ini Ali bin Abu Thalib berusia sekitar 10 tahun. Pada
usia remaja setelah wahyu turun, Ali bin Abu Thalib banyak belajar langsung
dari Nabi saw. karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi
hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang
menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu
masalah atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi
khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang
lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik
yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus
disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa
diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan
langsung dari Nabi kepada Ali bin Abu Thalib dalam semua aspek ilmu Islam baik
aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf
menggembleng Ali bin Abu Thalib menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas,
berani dan bijak.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali bin Abu Thalib bersedia tidur di kamar Nabi untuk
mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur
menampakkan kesan Nabi saw. yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi
mereka mengetahui Ali bin Abu Thalib yang tidur, sudah tertinggal satu malam
perjalanan oleh Nabi saw. yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu
Bakar.
Perkawinan
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali bin Abu
Thalib dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak
dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali bin Abu Thalib yang paling tepat dalam
banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling
dulu mempercayai ke-nabi-an Rasulullah saw (setelah Khadijah), yang selalu
belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.
Julukan
Ketika Rasulullah saw mencari Ali bin Abu Thalib menantunya,
ternyata Ali bin Abu Thalib sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan
debu mengotori punggungnya. Melihat itu Rasulullah saw pun lalu duduk dan
membersihkan punggung Ali bin Abu Thalib sambil berkata, "Duduklah wahai Abu
Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah. Julukan
tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali bin Abu Thalib.
Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw
Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang
pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali bin Abu Thalib betul-betul menjadi
pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di
tangan Ali bin Abu Thalib masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau
menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin
Abu Thalib bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu
tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi
dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian
perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi
mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang
bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang
Khaibar.
Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw
bersabda:
"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang
yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah
akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia
mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan
kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Ali bin Abu Thalib yang mendapat kehormatan
itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang
prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul
hingga terbelah menjadi dua bagian.
Peperangan lainnya
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk
karena mewakili nabi Rasulullah saw untuk menjaga kota Madinah.
Setelah Nabi wafat
Sampai di sini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali
bin Abu Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Rasulullah saw
wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa
Ali bin Abu Thalib harus menjadi Khalifah bila Nabi saw. wafat. Tetapi Sunni
tidak sependapat, sehingga pada saat Ali bin Abu Thalib dan Fatimah masih
berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu
Bakar.
Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid
II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke
Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'), malam hari Rasulullah
saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan
nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Beliau
keluar dari kemahnya kemudian berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan
Ali bin Abu Thalib. Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang
siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali bin Abu Thalib adalah
pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan
musuhilah orang yang memusuhinya."
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak
disetujui keluarga Nabi Ahlul Bait dan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda
pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abu Thalib terhadap Abu Bakar sebagai
Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi saw. dimakamkan,
ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali bin Abu
Thalib mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah
meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam umat islam.
Ada yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib belum pantas
untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang
menyatakan bahwa kekhalifahan sebaiknya tidak berada di tangan Bani
Hasyim.
Sebagai Khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan
mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah
membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu
menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abu Thalib
sebagai khalifah, waktu itu Ali bin Abu Thalib berusaha menolak, tetapi Zubair
bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali bin
Abu Thalib menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali bin Abu Thalib satu-satunya
Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih
melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5
tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah
Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara
antara umat Muslim terjadi, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali bin Abu
Thalib melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah,
dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar. Perang tersebut dimenangkan oleh
pihak Ali bin Abu Thalib.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut
berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah
terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Rasulullah saw
ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang
yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum
muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ,
konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin
yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abu Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam
bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi
negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia
meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam,
seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami
salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali bin Abu Thalib
menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali
bin Abu Thalib dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang
menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Keturunan
Ali bin Abu Thalib memiliki delapan istri setelah
meninggalnya Fatimah az-Zahra dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak
laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Rasulullah saw, Fatimah,
adalah Hasan dan Husain.
Keturunan Ali bin Abu Thalib melalui Fatimah dikenal dengan
Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif
berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan
langsung dari Rasulullah saw, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abu Thalib memiliki 36 orang anak
yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini
keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai
saat ini keturunan Ali bin Abu Thalib kerap digelari Sayyid.
0 komentar:
Posting Komentar